Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan, FISIPOL-Universitas Gadjah Mada.
Tambang dan Wisata Bahari Kaltim: Dilema Fiskal dalam Bayang-Bayang Ekstraksi
Kamis, 19 Juni 2025 21:23 WIB
Kaltim di persimpangan fiskal: tetap mengandalkan tambang atau beralih ke wisata bahari yang lestari tapi minim pendapatan.
Oleh: Muhammad Fitrah, S.I.P. (Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada)
Kalimantan Timur dikenal kaya sumber daya: pertambangan batu bara, minyak, hingga pariwisata bahari. Tapi pilihan antara ‘bermain aman’ di wisata atau ‘bermain besar’ di tambang kerap menimbulkan dilema fiskal dan lingkungan bagi pemerintah daerah.
Dilema Abadi: Kaya Sumber Daya, Miskin Keberlanjutan
Kalimantan Timur (Kaltim) kerap disebut sebagai provinsi kaya. Kekayaan itu berasal dari perut buminya —tambang batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Sektor ini menyumbang lebih dari separuh APBD, sebagian besar melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dan pajak sumber daya alam (Direktorat Jenderal Perbendaharaan, 2025).
Namun, ketergantungan fiskal terhadap komoditas ekstraktif menimbulkan risiko. Ketika harga batu bara turun, penerimaan daerah ikut tergerus. Data dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) menunjukkan bahwa DBH SDA sempat anjlok dari sekitar Rp.2,8 triliun (2019-2020) menjadi hanya sekitar Rp.1,7 triliun (2021), lalu melonjak kembali ke angka Rp.5,6 triliun (2022) dan Rp.4,8 triliun (2023). (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2019-2023)
Sebaliknya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) memang menunjukkan tren naik, dari Rp.6,5 triliun pada tahun 2019, menjadi Rp.10,3 triliun pada tahun 2023, tetapi komposisinya masih didominasi oleh sumber yang sama —yakni pajak-pajak terkait aktivitas pertambangan. (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2019-2023)
Tambang Merusak, Wisata Tak Menguntungkan?
Pemerintah daerah menghadapi dilema klasik; menekan pertambangan berarti mengurangi pemasukan, sementara membiarkannya terus tumbuh berarti mempercepat degradasi lingkungan yang justru mengancam sektor wisata, terutama wisata bahari yang sedang tumbuh di kawasan Berau dan Kutai Timur.
Fenomena ini mencerminkan apa yang sering disebut sebagai “kutukan sumber daya alam”, di mana kekayaan alam justru memperbesar kerentanan sosial dan ketimpangan struktural (Rondinelli, 1981). Hal ini menjadi ironi, karena kawasan pesisir yang potensial sebagai destinasi wisata justru terkena dampak langsung dari polusi tambang; keruhnya perairan, rusaknya terumbu karang, hingga terganggunya ekosistem seperti mangrove.
Grafik Fiskal: Ketergantungan yang Nyata
Sumber: (Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, 2019-2023)
Tren PAD dan DBH SDA Kaltim lima tahun terakhir (2019-2023) mencerminkan dualitas yang tajam. PAD meningkat secara bertahap, tetapi DBH SDA naik-turun secara tajam mengikuti harga komoditas. Ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan meskipun “menguntungkan”, sangat fluktuatif dan tidak menjamin kesinambungan fiskal jangka panjang.
Sebagaimana dalam data resmi pada tahun 2022 yang telah disajikan di atas, bahwasanya DBH SDA mencapai Rp.5,6 triliun, mendekati angka PAD murni sebesar Rp.8,9 triliun.
Solusi Fiskal: Reformasi dan Diversifikasi
Untuk keluar dari jebakan fiskal berbasis tambang, ada tiga pendekatan strategis yang dapat diambil:
- Diversifikasi Sumber PAD
Badan Kebijakan Fiskal (2022) menyatakan bahwa optimalisasi PAD daerah sangat dipengaruhi oleh reformasi fiskal, termasuk perluasan basis pajak, digitalisasi layanan pajak dan retribusi, serta penyederhanaan perizinan usaha di sektor produktif seperti pariwisata dan UMKM.
- Dana Abadi Lingkungan
Sebagian hasil tambang dapat dialihkan ke dalam Dana Abadi Lingkungan (Environmental Trust Fund) untuk membiayai rehabilitasi ekosistem dan pembangunan destinasi wisata.
- Reformulasi Dana Transfer
Pemerintah pusat harus memperbaiki formula DBH agar tidak semata-mata berdasarkan volume produksi, tetapi juga mempertimbangkan kinerja konservasi dan keberhasilan transisi ekonomi hijau.
Kaltim Bisa jadi Model Nasional
Sebagai wilayah penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur punya peran strategis untuk menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan bisa berjalan berdampingan.
Menyusun Rencana Keuangan Hijau Daerah (RKHD) berbasis PAD jangka panjang, kebijakan fiskal pro-ekologi, dan keterlibatan publik adalah langkah kunci menuju transformasi ini. Rondinelli (1981) menegaskan bahwa keberhasilan desentralisasi fiskal bukan hanya soal jumlah dana yang dikelola, tetapi juga kualitas tata kelola dan partisipasi masyarakat.
Kesimpulan
Pilihan antara tambang dan bahari adalah pilihan kebijakan. Namun, dengan pendekatan fiskal yang cermat, strategi jangka panjang, dan keberanian politik, Kalimantan Timur tidak harus memilih salah satu dengan mengorbankan yang lain.
Justru dengan menjadikan hasil tambang sebagai modal transisi menuju ekonomi hijau, Kaltim bisa membuktikan bahwa daerah kaya SDA bisa menjadi teladan keberlanjutan —bukan hanya sumber daya. Apakah bisa?
Referensi
Badan Kebijakan Fiskal. (2022). Laporan Kinerja 2022. https://fiskal.kemenkeu.go.id
Direktorat Jenderal Perbendaharaan. (2025). Perkembangan APBN dan APBD Regional Kalimantan Timur (Per Februari 2025).
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. (2019-2023). Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2019-2023. https://www.bpk.go.id
Rondinelli, D. A. (1981). Government Decentralization in Comparative Perspective. International Review of Administrative Sciences, 47(2), 133–145. https://doi.org/10.1177/002085238004700205

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

IKN adalah Anomali dalam Tata Kelola Demokrasi Lokal
Kamis, 19 Juni 2025 21:41 WIB
Tambang dan Wisata Bahari Kaltim: Dilema Fiskal dalam Bayang-Bayang Ekstraksi
Kamis, 19 Juni 2025 21:23 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler